Sabtu, 23 Oktober 2010

Produksi Ceriping: Awal Baru Pengembangan Industri Kreatif





Oleh: Dian Mardiana

Bentuknya bundar tidak beraturan. Rasanya gurih dan renyah di lidah. Makanan ini dirajang begitu tipis. Bahan dasarnya bisa dari ubi kayu, ubi jalar, sukun, dan pisang. Disukai mulai dari yang muda sampai usia senja. Malah biasa jadi cemilan keluarga. Masyarakat Gunung Kidul mengenalnya dengan nama ceriping.

Puput, anak sekolahan kelas 3 SMA mengemilnya di waktu senggang. Dia mendengar musik. Ditemani ceriping ubi kayu di atas mejanya. Tidak hanya itu, warung-warung terdekat pun menjajakannya, menggantung di papan atas warung. Sepertinya cemilan ini cukup tenar dan digemari warga Semoyo Dusun Salak ini. Malah, sederetan rumah di dusun ini menjadi pusat produksi rumah tangga.

Mudah dikelola

Pengelolaan ceriping memang tidak memerlukan banyak biaya. Apalagi, pengelolaannya langsung oleh para petani di desa itu. Maryanti misalnya, dia petani juga pengusaha. Usahanya bisa terbilang sukses. “saya sudah benyak mendistribusikan ceriping ini ke banyak warung-warung, pasar, toko-toko dan agen di Yogyakarta” ujarnya berbangga diri. Ditemani oleh tiga orang pegawai, dia yakin dengan usaha ceriping dirinya akan terus maju dan sukses.

Dengan penuh percaya diri, single parent ini menerangkan bahwa potensi ceriping di Desa Semoyo memang baik. Pasalnya, pertanian desa semoyo banyak menghasilkan umbi-umbian yang bisa dikelola dengan bermacam cara. Ceriping salah satunya. Tengok saja data hasil tani di Kabupaten Gunung Kidul. Ubi kayu muncul menempati prosentase tinggi. Catatan terakhir melaporkan bahwa produksi ubi kayu tahun 2008 menempati angka 791.630 ton untuk luas lahan 79.264 ha.

Dilihat dari hasil produksinya tentu saja potensi ini patut dikembangkan. Industri ceriping bisa saja jadi alternatif industri komunitas di wilayah yang terkenal dengan bukit kapur ini. Dengan karakter desa yang jauh dari sumber mata air dan berdiri di atas tanah berkapur, perlulah ditanami tanaman yang tidak rakus air. Sejalan dengan sifatnya, pemanfaatan umbi-umbian adalah potensi alternative yang sangat memungkinkan. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya tanaman ubi kayu di dibibir-bibir ladang. Dan di kebun dekat pekarang rumah banyak ditemukan juga pohon-pohon besar seperti durian, mangga, sukun, dan beberapa pohon besar yang bisa hidup tanpa limpahan air. Jika begitu, wajar saja jika Maryanti, salah satu perempuan tani di daerah ini membidik usaha ceriping sebagai salah satu potensial industri rumah tangganya.

Dalam prosesnya pengelolaan ubi kayu, ubi jalar, sukun, dan pisang ini memang tidak dikelola oleh maryanti sendiri. Tiga orang tetangganya pun ikut terlibat dalam pembuatannya. Selain menambah penghasilan keluarga, usaha ini memang menjadi salah satu kreasi ibu-ibu untuk memulai bisnis ceriping.

Mudah dibuat

Sumartini dan rekannya membungkus ceriping dalam kemasan kecil

Pembuatan ceriping terbilang mudah dipraktekan. dengan bahan baku yang murah dan mudah didapat, bumbu pun tidak banyak menguras saku. Ubi kayu misalnya, ubi kayu untuk ceriping dipilih yang tidak terlalu tua tidak juga terlalu muda. Kupas dan bersihkan. Setelah itu ubi kayu pun dirajang dengan pasah, sebuah alat perajang tradisional. kemudian mulailah ubi kayu ini direndam dalam air mendidih, dinginkan dan rendam lagi dengan air kapur yang sudah diendapkan. Goreng dan berilah bumbu. Setelah itu masuklah pada proses pengemasan. Ubi kayu yang sudah dibumbui itu dimasukan ke dalam plastik ukuran 1 ons dengan ditempeli label.

Dengan mudahnya pembuatan ceriping ini mendorong warga desa semoyo untuk mengembangkannya dalam industri rumah tangga kreatif. Hal ini memang baik untuk pengembangan potensi desa yang dikenal rawan air ini. Selain mengelola lahan pertanian, hasilnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga.

Harganya terjangkau

Ceriping bukanlah cemilan mewah yang menghabiskan pundi-pundi uang saku. Harganya murah meriah. Dari mulai Rp. 500,- sampai 17.000,- tergantung pada kemasannya. Perempuan yang biasa dipanggil Mba Simar sendiri lebih memilih menjualnya murah. Satu bungkus itu harga jualnya Rp. 500,- di warung-warung dan pasar. “Sedangkan untuk satu pak berisi 10 bungkus dijual Rp. 4.000,-“ ujarnya sambil tekun merajang ubi kayu tipis-tipis.

Semakin baik kemasan dan kualitas makanannya, semakin mahal harganya. Namun semahal-mahalnya ceriping, semua kalangan masih bisa membelinya. Ini pulalah yang membuat ceriping menjadi cemilan keluarga semua kalangan dari mulai warga kolong jembatan sampai warga berumah megah bertanah hektar. Semoga saja bukan hanya Mba Simar di Desa Semoyo ini muncul pula Mba-Mba lainnya yang bisa bangkit, membidik peluang, dan mengembangkan bisnis keluarga di sektor pertanian lainnya.

Tidak ada komentar: